Dalam foto ini, adalah keluarga inti kami, hanya saja minus kakak kedua saya mas Rekta Mandrawa Tinon Koesoema.
Dari kiri ke kanan :
1. Kakak ketiga saya, Mbak Mtk Rinong (Muslimah Salafi),
2. Saya, Ratya Mardika Tata Koesoema (Kejawen),
3. Ibu saya, R.Ay. Kartini Dewi Merapi (Islam),
4. Kakak tertua saya (kakak pertama), Bhante Ashin Kheminda (Bhikkhu Buddha Theravada),
5. Kakak keempat saya, Mbak Rindoe Mahatsih Tantri Koesoema (Katholik).
Sebagaimana pernah saya ceritakan sebelumnya, suwargi Bapak kami, R.M. Tridaja Koesoemasardjana, dahulu semenjak kami masih kecil-kecil, mengajarkan kepada kami kemerdekaan dalam memeluk dan beribadah sesuai agama masing-masing, sehingga kami semua dibebaskan untuk belajar dan memeluk agama sesuai hati nurani kami masing-masing.
Kami berterimakasih kepada Bapak kami, yang mengajarkan toleransi dan Bhinneka Tunggal Ika sejak kami kecil dan dalam lingkungan terkecil, yaitu dalam keluarga kami.
Anda lihat, kami dapat bergurau bersama, bercengkerama, tanpa saling menghakimi keyakinan masing-masing.
Bahkan, kami bisa saling bertukar pikiran serta bertukar informasi mengenai ajaran agama / keyakinan / kepercayaan yang kami peluk masing-masing. Saling meluruskan hoax yang berkembang di masyarakat.
Seperti misal pagi tadi, kakak saya yang ketiga, Mbak Rinong menjelaskan bagaimana ajaran Salafi yang dia ikuti, bahwa penganut Salafi yang sejati tidak mengkafir-kafirkan yang lainnya, tidak ikut-ikutan demo-demo apalagi makar, dan lain-lainnya. Dia juga bercerita, pernah ada peserta dalam pengajiannya bertanya kepada ustadznya, "Apakah Presiden kita kafir?", sang Ustadz menjawab, "Masya Allah, ngaji sana kamu diluar sana, jangan disini". Kakak saya juga menjelaskan, penganut Salafi yang benar tidak ada hubungannya dengan pemuka-pemuka yang sering menghujat polisi, menghujat Pancasila, mengingkari atau memberontak pada NKRI. Kakak saya juga menjelaskan, penganut2 Salafi yang benar, tidak ada hubungannya dengan HTI.
Beginilah kehidupan keluarga kami. Unity in diversity, saling asah-asih-asuh dalam perbedaan, sejak lingkungan terkecil kami, yaitu keluarga kami. Mengamalkan dan menghayati Bhinneka Tunggal Ika sejak usia dini hingga dewasa dan menginjak usia tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar